Rabu, 16 April 2008

Pertanian : Si Kaya versus Si Miskin

Pengembangan biofuel tampaknya tidak semulus yang diharapkan. Ini bisa dilihat dari terhambatnya target Pertamina memasarkan biosolar di 181 stasiun pengisian bahan bakar umum di Jakarta dan Surabaya hingga akhir 2006. Pasalnya, ketersediaan fatty acids methyl ester (FAME) atau biodiesel dari minyak sawit amat terbatas. Pertamina perlu 200 ribu ton FAME untuk mensubstitusi 5 persen konsumsi solar setahun, tapi pasokannya kurang dari separuh. Pertamina memperkirakan, biodiesel hanya bisa dijual di 131 SPBU. Selain itu, karena harga tidak diatur, harga FAME melonjak tajam. Per Oktober, harga FAME Rp 5.300 per liter, lebih mahal ketimbang harga minyak mentah di Midd Oil Platt’s Singapore.
Apa yang bisa dibaca dari kondisi aktual ini? Pertama, gencarnya produksi minyak berbahan baku produk pertanian atau nabati merupakan respons yang bijaksana. Selain bersifat ramah lingkungan dan bisa diperbarui, biofuel berbahan baku sumber daya domestik. Ini akan menciptakan lapangan kerja baru dan menstimulasi ekonomi, di samping argumen untuk membangun ketahanan energi sebuah negara. Ketergantungan pada energi fosil membuat bahan bakar ini kian mahal, bahkan menembus lebih dari US$ 70 per barel. Energi fosil juga mencemari lingkungan, cadangannya kian tipis, dan tak bisa diperbarui. Ketika harga energi fosil melambung, banyak negara menoleh biofuel.
Kedua, euforia pengembangan biofuel, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, bukanlah hal baru. Secara global, sudah banyak negara yang memproduksi dan memakai biofuel secara komersial dengan memanfaatkan bahan nabati domestik. Jerman, Prancis, dan Austria menggunakan kanola (rapeseed), Spanyol bertumpu pada minyak zaitun (olive oil), Amerika Serikat pada minyak kedelai (soybean) dan jagung, Italia pada bunga matahari (sunflower oil), Mali, India, serta Afrika pada jarak pagar (jatropha oil), Filipina pada kelapa (cocodiesel), Brasil pada tebu, dan Malaysia pada minyak sawit (palm oil). Indonesia mengembangkan biofuel dari tebu, singkong, sawit, dan jarak pagar.
Secara ekonomi, jika harga energi fosil terus tinggi, biofuel akan kompetitif. Contohnya, Brasil memproduksi etanol dari tebu dengan biaya produksi hanya US$ 0,16 per liter atau sekitar US$ 26 per barel. Amerika memproduksi etanol dari jagung, walau belum efisien, dengan biaya produksi US$ 59 per barel. Negara-negara Eropa barat ataupun Indonesia dan Malaysia diperkirakan dapat memproduksi biofuel dengan biaya produksi lebih mahal ketimbang Brasil, tapi di bawah biaya produksi Amerika. Para ahli perminyakan sepakat, jika harga energi fosil di atas US$ 60 per barel, biofuel akan kompetitif.
Ketiga, dari sudut efisiensi energi yang dihasilkan, walau ada variasi yang lebar, biofuel termasuk efisien. Biofuel berbahan baku tebu termasuk yang paling efisien dalam menghasilkan energi. Untuk satu unit energi yang digunakan, biofuel berbahan baku tebu menghasilkan 8 unit energi. Biofuel berbahan baku beet dan jagung masing-masing menghasilkan 1,9 dan 1,5 unit energi untuk setiap satu unit energi yang digunakan untuk proses produksi (Susila, 2006). Dari berbagai sudut di atas, semua mendorong industri biofuel. Ini akan membuat posisi produk pertanian menjadi kian strategis dan penting.
Bagi sektor pertanian, perkembangan baru tersebut amat menguntungkan. Pamor sektor pertanian yang redup, marginal, dan terpinggirkan akan kembali mencorong. Jika selama ini produk pertanian amat bergantung pada pasar tradisional (pangan, pakan, dan sandang), kini ada peluang diversifikasi pasar energi. CPO bisa dijual ke industri minyak goreng yang berakhir di supermarket atau ke industri biofuel yang berakhir di SPBU. Tebu bisa berakhir di pasar dalam wujud gula atau berakhir di SPBU dalam bentuk bioetanol. Demikian pula singkong, kelapa, dan minyak lemak pangan (edible oil) lain.
Bagi sektor pertanian, perluasan pasar tersebut tentu akan berdampak positif. Perluasan pasar akan memberi tekanan pada kenaikan harga serta stabilitas harga produk pertanian. Situasi ini berpotensi memperbaiki kinerja sektor pertanian, termasuk peningkatan pendapatan petani. Dalam jangka pendek, perluasan pasar ini akan mampu mengurangi surplus produksi produk-produk pertanian di pasar dunia. Masalahnya, produksi biofuel dari bahan baku minyak lemak pangan akan membuat produk pertanian berada di persimpangan jalan: diproses jadi makanan (food) atau minyak bakar (fuel).
Bagi negara-negara nett importer pangan atau negara yang jumlah penduduknya besar, seperti Indonesia, kondisi ini berpotensi memperburuk situasi ketahanan pangan. Kenaikan harga pangan akibat permintaan untuk biofuel akan berdampak negatif pada penduduk miskin yang di dunia jumlahnya lebih dari 2 miliar orang. Indonesia tidak lepas dari masalah krusial ini. Dewasa ini, jumlah penduduk miskin lebih dari 39 juta jiwa (17,75 persen), yang sekitar 70 persen ada di sektor pertanian. Indonesia juga nett importer pangan yang dapat diolah menjadi biofuel: gula (0,6 juta ton), kedelai (1,2 juta ton), dan jagung (1,6 juta ton).
Secara global, mengutip Lester R. Brown dari Earth Policy Institute yang berbasis di Amerika, produksi biji-bijian pada 2006 mencapai 1,9 miliar ton. Namun, konsumsi mencapai lebih dari 2 miliar ton. Jadi ada kekurangan 72 juta ton. Di sisi lain, akhir 2007, ada 800 juta orang yang menggunakan komoditas biji-bijian tersebut untuk biofuel. Jika situasi tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, secara global akan terjadi “perkelahian” lebih dari 2 miliar penduduk miskin untuk memperoleh makanan dengan 800 juta mobil dan jutaan mesin/pabrik. Pada dasarnya, ini perebutan antara 2 miliar “si Miskin” melawan 800 juta “si Kaya” yang punya mobil dan pabrik/mesin. Untuk Indonesia, situasi adalah arena duel sekitar 39 juta penduduk miskin dengan jutaan pemilik mobil, mesin/pabrik.
Masalah akan muncul karena pemilik mobil dan mesin adalah “si Kuat”, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun politik. Karena itu, mudah diperkirakan mereka akan dapat memenangi duel tersebut, dimulai dengan menggunakan cara yang paling halus dan logis sampai yang kasar melalui berbagai rekayasa ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Korbannya adalah “si Miskin” dan “si Lemah”. Mereka akan semakin sulit mengakses pangan. Jikapun pangan tersedia, harganya tinggi dan tak terbeli. Akhirnya, busung lapar, gizi buruk, dan kelaparan dalam berbagai manifestasinya akan merebak.
Kecenderungan global untuk mempercepat pengembangan industri biofuel akan memberi insentif peningkatan produksi pertanian. Ini semua memerlukan perluasan lahan. Karena ekstensifikasi kian terbatas, bukan mustahil akan terjadi konversi hutan ke lahan pertanian. Bagi negara-negara yang kondisi hutannya rusak parah, seperti Indonesia, ini hanya akan membuat kondisi lingkungan semakin kritis. Banjir, longsor, dan kebakaran hutan akan datang silih berganti. Hal ini, lagi-lagi, akan membuat “si Miskin” menderita. Pengembangan biofuel adalah respons yang bijaksana. Namun, jika tidak direncanakan secara sistematis dan komprehensif, akan menjadi ancaman ketahanan pangan dan lingkungan.

Khudori Pemerhati Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian Penulis Buku : Lapar Negeri Salah Urus

0 komentar:

 
Powered by Blogger