Rabu, 16 April 2008

Pertanian : Si Kaya versus Si Miskin

Pengembangan biofuel tampaknya tidak semulus yang diharapkan. Ini bisa dilihat dari terhambatnya target Pertamina memasarkan biosolar di 181 stasiun pengisian bahan bakar umum di Jakarta dan Surabaya hingga akhir 2006. Pasalnya, ketersediaan fatty acids methyl ester (FAME) atau biodiesel dari minyak sawit amat terbatas. Pertamina perlu 200 ribu ton FAME untuk mensubstitusi 5 persen konsumsi solar setahun, tapi pasokannya kurang dari separuh. Pertamina memperkirakan, biodiesel hanya bisa dijual di 131 SPBU. Selain itu, karena harga tidak diatur, harga FAME melonjak tajam. Per Oktober, harga FAME Rp 5.300 per liter, lebih mahal ketimbang harga minyak mentah di Midd Oil Platt’s Singapore.
Apa yang bisa dibaca dari kondisi aktual ini? Pertama, gencarnya produksi minyak berbahan baku produk pertanian atau nabati merupakan respons yang bijaksana. Selain bersifat ramah lingkungan dan bisa diperbarui, biofuel berbahan baku sumber daya domestik. Ini akan menciptakan lapangan kerja baru dan menstimulasi ekonomi, di samping argumen untuk membangun ketahanan energi sebuah negara. Ketergantungan pada energi fosil membuat bahan bakar ini kian mahal, bahkan menembus lebih dari US$ 70 per barel. Energi fosil juga mencemari lingkungan, cadangannya kian tipis, dan tak bisa diperbarui. Ketika harga energi fosil melambung, banyak negara menoleh biofuel.
Kedua, euforia pengembangan biofuel, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, bukanlah hal baru. Secara global, sudah banyak negara yang memproduksi dan memakai biofuel secara komersial dengan memanfaatkan bahan nabati domestik. Jerman, Prancis, dan Austria menggunakan kanola (rapeseed), Spanyol bertumpu pada minyak zaitun (olive oil), Amerika Serikat pada minyak kedelai (soybean) dan jagung, Italia pada bunga matahari (sunflower oil), Mali, India, serta Afrika pada jarak pagar (jatropha oil), Filipina pada kelapa (cocodiesel), Brasil pada tebu, dan Malaysia pada minyak sawit (palm oil). Indonesia mengembangkan biofuel dari tebu, singkong, sawit, dan jarak pagar.
Secara ekonomi, jika harga energi fosil terus tinggi, biofuel akan kompetitif. Contohnya, Brasil memproduksi etanol dari tebu dengan biaya produksi hanya US$ 0,16 per liter atau sekitar US$ 26 per barel. Amerika memproduksi etanol dari jagung, walau belum efisien, dengan biaya produksi US$ 59 per barel. Negara-negara Eropa barat ataupun Indonesia dan Malaysia diperkirakan dapat memproduksi biofuel dengan biaya produksi lebih mahal ketimbang Brasil, tapi di bawah biaya produksi Amerika. Para ahli perminyakan sepakat, jika harga energi fosil di atas US$ 60 per barel, biofuel akan kompetitif.
Ketiga, dari sudut efisiensi energi yang dihasilkan, walau ada variasi yang lebar, biofuel termasuk efisien. Biofuel berbahan baku tebu termasuk yang paling efisien dalam menghasilkan energi. Untuk satu unit energi yang digunakan, biofuel berbahan baku tebu menghasilkan 8 unit energi. Biofuel berbahan baku beet dan jagung masing-masing menghasilkan 1,9 dan 1,5 unit energi untuk setiap satu unit energi yang digunakan untuk proses produksi (Susila, 2006). Dari berbagai sudut di atas, semua mendorong industri biofuel. Ini akan membuat posisi produk pertanian menjadi kian strategis dan penting.
Bagi sektor pertanian, perkembangan baru tersebut amat menguntungkan. Pamor sektor pertanian yang redup, marginal, dan terpinggirkan akan kembali mencorong. Jika selama ini produk pertanian amat bergantung pada pasar tradisional (pangan, pakan, dan sandang), kini ada peluang diversifikasi pasar energi. CPO bisa dijual ke industri minyak goreng yang berakhir di supermarket atau ke industri biofuel yang berakhir di SPBU. Tebu bisa berakhir di pasar dalam wujud gula atau berakhir di SPBU dalam bentuk bioetanol. Demikian pula singkong, kelapa, dan minyak lemak pangan (edible oil) lain.
Bagi sektor pertanian, perluasan pasar tersebut tentu akan berdampak positif. Perluasan pasar akan memberi tekanan pada kenaikan harga serta stabilitas harga produk pertanian. Situasi ini berpotensi memperbaiki kinerja sektor pertanian, termasuk peningkatan pendapatan petani. Dalam jangka pendek, perluasan pasar ini akan mampu mengurangi surplus produksi produk-produk pertanian di pasar dunia. Masalahnya, produksi biofuel dari bahan baku minyak lemak pangan akan membuat produk pertanian berada di persimpangan jalan: diproses jadi makanan (food) atau minyak bakar (fuel).
Bagi negara-negara nett importer pangan atau negara yang jumlah penduduknya besar, seperti Indonesia, kondisi ini berpotensi memperburuk situasi ketahanan pangan. Kenaikan harga pangan akibat permintaan untuk biofuel akan berdampak negatif pada penduduk miskin yang di dunia jumlahnya lebih dari 2 miliar orang. Indonesia tidak lepas dari masalah krusial ini. Dewasa ini, jumlah penduduk miskin lebih dari 39 juta jiwa (17,75 persen), yang sekitar 70 persen ada di sektor pertanian. Indonesia juga nett importer pangan yang dapat diolah menjadi biofuel: gula (0,6 juta ton), kedelai (1,2 juta ton), dan jagung (1,6 juta ton).
Secara global, mengutip Lester R. Brown dari Earth Policy Institute yang berbasis di Amerika, produksi biji-bijian pada 2006 mencapai 1,9 miliar ton. Namun, konsumsi mencapai lebih dari 2 miliar ton. Jadi ada kekurangan 72 juta ton. Di sisi lain, akhir 2007, ada 800 juta orang yang menggunakan komoditas biji-bijian tersebut untuk biofuel. Jika situasi tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, secara global akan terjadi “perkelahian” lebih dari 2 miliar penduduk miskin untuk memperoleh makanan dengan 800 juta mobil dan jutaan mesin/pabrik. Pada dasarnya, ini perebutan antara 2 miliar “si Miskin” melawan 800 juta “si Kaya” yang punya mobil dan pabrik/mesin. Untuk Indonesia, situasi adalah arena duel sekitar 39 juta penduduk miskin dengan jutaan pemilik mobil, mesin/pabrik.
Masalah akan muncul karena pemilik mobil dan mesin adalah “si Kuat”, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun politik. Karena itu, mudah diperkirakan mereka akan dapat memenangi duel tersebut, dimulai dengan menggunakan cara yang paling halus dan logis sampai yang kasar melalui berbagai rekayasa ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Korbannya adalah “si Miskin” dan “si Lemah”. Mereka akan semakin sulit mengakses pangan. Jikapun pangan tersedia, harganya tinggi dan tak terbeli. Akhirnya, busung lapar, gizi buruk, dan kelaparan dalam berbagai manifestasinya akan merebak.
Kecenderungan global untuk mempercepat pengembangan industri biofuel akan memberi insentif peningkatan produksi pertanian. Ini semua memerlukan perluasan lahan. Karena ekstensifikasi kian terbatas, bukan mustahil akan terjadi konversi hutan ke lahan pertanian. Bagi negara-negara yang kondisi hutannya rusak parah, seperti Indonesia, ini hanya akan membuat kondisi lingkungan semakin kritis. Banjir, longsor, dan kebakaran hutan akan datang silih berganti. Hal ini, lagi-lagi, akan membuat “si Miskin” menderita. Pengembangan biofuel adalah respons yang bijaksana. Namun, jika tidak direncanakan secara sistematis dan komprehensif, akan menjadi ancaman ketahanan pangan dan lingkungan.

Khudori Pemerhati Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian Penulis Buku : Lapar Negeri Salah Urus

Rabu, 02 April 2008

REPORTASE FNB BULAN MARET 2008 (DEPAN HAMZY)

Cihuiii, akhirnya setelah lebih dari 2 bulan absent. Kita bisa tabling lagi teman…
Wah seru..seru...
Sekedar pengantar....
Berawal dari sebuah diskusi Film di Biblioholic, sebuah kegiatan bulanan yang baru saja dideklarasikan bernama “KREK”. Dalam acara perdananya berupa pemutaran film dan diskusi atau sharing bersama teman-teman yang hadir saat itu bersepakat untuk membuat sebuah aksi langsung, ini berangkat dari kekecawaan banyaknya forum-forum diskusi yang hanya berakhir saling adu argumentasi, wacana ataupun ajang pamer intelektual namun tak pernah ada tindak lanjutnya. FNB menjadi tawaran untuk aksi langsung dari KREK ini.
Belum lama sebuah kejadian tragis yang cukup menggemparkan kota Makassar oleh meninggalnya seorang ibu (Dg. Besse), yang menurut media meninggal akibat kelaparan. Sangat Ironis terjadi di antara hiruk pikuk dan pesatnya pembangunan kota ini dan lebih ironis lagi karena masyarakat kita tak bisa melihat ini sebagai hubungan yang saling terkait. Kita telah teralienasi dari kepekaan dan sisi humanitas karena yang dominan adalah individualitas kita yang hanya dan hanya untuk memiliki lewat mengkonsumsi. Kebaikan-kebaikan tak lebih lebih dari sebuah topeng-topeng sosial dan bakti amal di balik simbol-simbol, identitas, logo baik oleh korporasi, agama ataupun kepentingan politik. SUCK”S!!! yang hingga saat ini dan yakin sampai kapanpun tak akan pernah menyelesaikan kehidupan manusia yang semakin banal ini.
Sebuah cobaan berat di saat kita menampilkan sebuah tawaran untuk mengembalikan lagi sisi-sisi kehidupan yang telah dihilangkan, akan diperhadapkan pada respon-respon yang tak lebih dari sebuah gambaran apatisme. Tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin, karena penerimaan sesuatu bertitik tolak dari pembiasaan-pembiasaan yang akhirnya menjadikannya mungkin. Seperti sebuah reklame yang terus membuntuti dan membiasakan kita untuk tak melepas pandangan hingga kita yakin untuk memilihnya.
FNB adalah satu dari sekian banyak yang mungkin saat ini hanya bisa menjadi simbol akan sebuah tawaran.
Sebuah aksi langsung yang sangat sederhana namun memiliki makna filosofis yang luas. “medium is the messages”. Ya, FNB adalah medium sekaligus pesannya bahwa makanan adalah kebutuhan paling esensi dalam kehidupan makhluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan). Makanan tak bisa digolongkan hak ataupun kewajiban tapi sesuatu yang “harus”. Alam telah bekerja dalam sebuah fungsi ekologis sebagai sumber makanan dan dalam keseimbanganya akan terus mencukupi kebutuhan paling esensi ini. Namun yang terjadi adalah sebuah ketidakseimbangan, alam tak lagi berjalan sebagaimana adanya, tereksploitasi dan menjadi komoditas yang hanya dikuasai oleh sebagian orang. Makanan bukan lagi hal cuma-cuma tapi telah melekat label-label harga dan dihiasai oleh citra-citra. Kemiskinan, kekeringan, Kelaparan adalah hal yang tak bisa dihindarkan, ada yang mati-matian bekerja untuk mencari sesuap makanan sedang di sisi lain ada yang menumpuk-numpuk makanan dan mati-matian menguruskan badan. Betapa konyolnya jika ini dianggap sebuah kewajaran atau takdir kehidupan.
“Medium is the messages” . FNB, membawa pesan bahwa siapapun tak pantas lapar di muka bumi ini, makanan adalah esensi yang harus selalu ada dan seharusnya cuma-cuma karena ada cukup makanan yang tersedia untuk semua dan FNB sekaligus medium siapapun bisa saling membantu, berkontribusi dan saling mempertemukan bagi mereka yang berkelebihan bahan dan mereka yang berkekurangan, mengembalikan lagi sebuah hubungan sosial manusia. Sebuah aksi langsung, sangat sederhana lepas dari kerumitan birokratis. Namun FNB hanyalah sebuah kerja sia-sia jika saat kita masih mengangap ini sebuah kegiatan amal atau pengguguran atas kewajiban. FNB seharusnya menjadi sebuah pembiasaan yang akhirnya menjadi bagian dari kehidupan harian kita hingga kita tak lagi menyebutnya dengan nama yang telah melekat padanya. Bayangkan jika tiap saat di berbagai tempat kita menemui dapur-dapur umum yang menyediakan makanan bagi semua. Tentu Dg, Besse masih terus melihat senyum bayi mungil yang telah ditinggalkannya kini. Tapi tidakkah ini akan membentuk sebuah masyarakat yang manja? Pertanyaan yang sering dilontarkan bagi mereka masih terjebak pada kedangkalan pemahaman, karena FNB tidak terbatas pada distribusi akan bahan makanan tapi setiap proses yang berjalan di dalamnya. Prinsip-prinsip kerja yang pernah digunakan berabad-abad lalu saat kehidupan boleh dibilang masih beradab. Swakelola, partisipatoris, non hirarkis, desentralisasi adalah prinsip-prinsip tak terpikirkan lagi, karena kita berada dalam sebuah tatanan yang terus menjerat menjadi masyarakat pasif yang kehilangan kontrol atas diri sendiri, terjebak hingga tertutup akan hal di luar dari pada itu. Hingga tak heran jika ada banyak pertanyaan semacam tadi, sebuah apatisme. Toh menurut saya secara pribadi, apa salahnya masyarakat hidup dalam kenyamanan yang sudah sejak lama di menderitakan oleh keadaan.
Semoga tidak menjadi peagung-agungan atas sebuah pilihan karena tak pernah tertutup kemungkinan bagi sesuatu yang lebih baik. Nah, selama kita masih yakin dan percaya dengan cara ini, mari kita benahi kembali FNB hingga ia benar-benar berjalan sebagaimana adanya. .........LONG LIVE......................

Tabling 17 Maret 2008
Akhirnya FNB bersenyawa kembali dan yang kini lebih meriah dengan bertambahnya relawan-relawan baru yang siap membantu walaupun FNB juga telah banyak kehilangan relawan yang telah melanlang entah kemana.
Ada sedikit kekecawaan karena tabling tertunda dari jadwal yang disepakati yaitu tanggal 12 Maret 2008 namun karena kurangnya koordinasi karena para relawan yang jarang ngumpul dan juga mungkin tak ada pulsa untuk saling ngontak-ngontakan (entah dan atau apalah). Untung saja dua orang teman yang cukup khawatir jika saja tablingnya gagal, berinisiatif menentukan jadwal, mungkin agak sepihak tapi adalah ini sebuah inisitaif yang sangat baik. Bermodal pulsa yang sedikit lagi berteriak, dihubungilah para relawan-relawan. Nah , jadwal yang kira-kira dianggap baik adalah hari senin 17 Maret 2007.

Minggu, 16 Maret 2008
Menjelang malam . Beberapa relawan telah berkumpul di Idefix, tetap masih menjadi Cookhousenya FNB. Dian, Wali, Dildo, Alan, Aslam, Ipang, dan juga saya setelah berembuk dan membagi peran kemudian dengan cepat semuanya beraksi. Alan, Dian, Aslam, Wali segera mencari peralatan masak, yah seperti biasanya mesti pinjam sana-sini dari teman-teman terdekat. Saya dan Ipang setelah menyusun daftar bahan kebutuhan masak segera meluncur pula ke pasar Daya untuk berbelanja, huh lagi-lagi kita masih mengandalkan uang untuk FNB kali ini. Oh iya, sekedar informasi donasi yang terkumpul sebesar Rp.260.000, itupun hanya berasal dari hasil list seorang teman, Weda. Lagi-lagi karena kurang koordinasi list tak dijalankan seperti biasanya. But, its okey. Dengan dana yang cukup minim tersebut dipilihlah menu masakan yang dianggap bisa tercukupi. Dan untuk kedua kalinya haha “Nasi Goreng” menjadi pilihan. Menu hemat FNB kita, hehehe.
Dan sepertinya sudah agak malam, peralatan masak telah lengkap, bahannya juga telah tersedia. Beberapa relawan juga berdatangan, Tomas, Rido, dan Aan (datang membawa banyak Film aneh-aneh, kartun jepang kayanya bagus tapi sayang tak sempat ditonton malam itu).
Ruang tengah Idefix, akhirnya dipenuhi lagi dengan tumpukan-tumpukan, diramaikan lagi dengan celoteh-celoteh dan lelucon karena sebelumnya Idefix tengah dilanda kesepian setelah ditinggal oleh banyak Crewnya.
Menu hemat, kerja ringan!! Jadinya malam itu tak banyak yang dikerjakan selain kegiatan mengupas ngupas. Ada dua klub yang saling bersaing klub bawang dan klub wortel. Klub bawang beranggotakan Ipang, Dian, Tomas, Aslam, Dildo, Rido, Alan dan sesekali saya ikut nimbrung, beradu dengan klub Wortel yang beranggotakan Wali, dan.....? sendiri? wah pembagian kerja yang tak merata. Pisau sebagai alat produksi telah dikuasai oleh Wali jadi dari pada yang lain tidak bekerja, akhirnya numpuk di klub bawang yang terpaksa kupas bawang pake tangan karena tak mungkin kan kupas wortel pake tangan?.
Dan tentu saja pertarungan ini dimenangkan oleh klub bawang, selain karena memang klub wortel setelah mengupas harus melanjutkan kerjanya untuk memotong-motong heheh “Ballasi kodong Wali”. Lain halnya dengan bawang yang setelah dikupas cukup masukkan saja ke mesin penghanjur dan siap menjadi bumbu siap pake. Ah, saya mendapat bagian kerja ini, simpel. Wali mungkin telah tampak kewalahan akhirnya pekerjaan potong-potong wortel diserahkan ke Aan dan Rido.
Sudah tengah malam, sesi pertama beres. Pekerjaan selanjutnya akan dikerjakan besok lagi, jadi beberapa di antaranya pulang ke rumah, yang mahasiswa katanya sih pulang mau belajar karena mid besoknya, yang pak guru taulah mesti mengajar, dan ada pula yang pulang karena mesti ngojekin adenya ke sekolah. Hehe, jadi siapakah di antara kalian yang di maksud ini?:) sebagian lagi nginap di idefix, termasuk juga saya.

Senin, 17 Maret 2008
Pagi-pagi
Aduuh, sudah jam 7 yang lain masih pada tampak lelap. Dengan berat mata saya juga mesti bangun setelah terlelap 2 jam karena semalaman melanlang di dunia maya sampe jam 5. uuuaaaam, cuci muka dan melanjutkan lagi kerja. Cuci beras lalu masak nasi, hah untungnya Rido juga terbangun jadi sedikit terbantu kewalahanku yang tak pandai memasak nasi ini hehehJ. Pagi-pagi saya dibuat tertawa setelah mengerjai si Dildo, ia bangun terkaget menanyakan jam. Pas saya bilang jam 8, dengan panik dan terburu-buru langsung deh dia mengganti pakaian, mengambil tas dan siap keluar tanpa mencuci muka ataupun mulut setetes pun sangking takutnya terlambat ikut mid padahal pagi itu masih jam 7. AhahahaJ. Mandi dulu Dildo, kasian nanti yang didekatmu!!:) Dildo..Dildo...:).
Dian datang , juga Aslam membawa jumbo nasi miliknya sedang yang lain mesti kuliah dulu.
Ternyata masak nasi tidak mudah, apalagi dalam jumlah besar begini. Jadwal yang sempat diperkiran akan selesai jam 12 teng lewat. Itupun setelah gagal memperoleh nasi yang sempurna untuk nasi goreng karena yang ada nasinya jadi kelembekan. Hihi lebih pantas dibilang bubur goreng. Ah, saya sempat putus asa dan jatuh semangat belum lagi karena kewalahan mengerjakan berdua dengan Rido karena partisipan yang lain pada belum datang, Dian dan Tomas mesti keluar untuk (ups,... taulah), untunglah Dildo cepat balik dari kampusnya, sedikit terbantukan dan harus sabar karena mesti disuruh-suruh terus sama saya (hehe, am sory Dil lagi panik). Menyesal juga dengan tak hadirnya Ivy sang koki handal kita hari itu, sang jagonya masak.
Barulah siang atau sekitar jam satu, satu persatu yang datang. Sibuk-sibuk lagi, menggoreng nasi dilakukan oleh tangan-tangan handal yang mengaduk rata nasi dan bumbu, menyiapkan menu pelengkap (Sambal, acar, telur orak-arik), ada juga menyiapkan pelaratan tabling tenda, meja, piring, gelas, sendok. Sambil juga bersih-bersih lagi Idefix yang berantakan.
Sekitar jam 2 semua pekerjaan beres, dengan tiga buah motor yang ada saat itu. Berangkatlah kita semua ke tempat tabling baru yaitu depan jalan Hamzi (depan ruko baru pinggir jalan). Ya, ini adalah tempat baru karena tempat biasa tabling yaitu perempatan Tol Reformasi sedang dirombak total oleh Pemkot untuk pembangunan jalan layang dan kemungkinan kita tak bisa lagi melajutkan tabling di sana. Jadi pindahlah kita ke tempat baru ini dengan pertimbangan tempatnya yang cukup bagus untuk tabling dimana di tempat itu merupakan daerah mangkal para pebecak yang sedang menunggu penumpang dan juga merupakan jalur kendaraan yang cukup ramai untuk memudahkan kampanye atau membagi selebaran tentang FNB.
Teng..teng hampir jam 3...selesai pasang tenda, mengatur-atur piring dan peralatan lainnya, selebarannya juga sudah ada. Mulai makanan diserbu oleh orang-orang yang ada di sekitar situ yang kebanyakan adalah pebecak dan para tukang yang sedang membangun ruko di sekitaran nya. Huh, kali ini makanan tak dibagi teratur seperti biasanya karena mereka datang berkerumun langsung mengambil dan melayani diri sendiri, bagus juga tapi masalahnya makanan tidak terjadi distribusi yang merata. Siapa cepat dia dapat, jadinya yang datang belakangan tidak kebagian telur yang memang sedikit karena sudah ludes habis hehehe. Tapi kesan pertama di sana lumayan baik, beberapa teman juga yang membagi selebaran dipinggir jalan menyempatkan untuk berkomunikasi kepada orang-orang yang melintas, walaupun tak bisa pula dipungkiri ada pula respon-respon yang kurang mengenakkan. Tapi seru karena banyak teman-teman baru lagi datang saat tabling ada Weda, Wahyu, Khaidir, Sandy dan temannya (ups,sori saya lupa namanya). Cukup menyenangkan tabling hari itu, dan bagian yang tak pernah terlewatkan adalah ciprat-ciprat yang untung saja Aan sempat membawa kamera dan mendokumentasikannya.
Sudah pukul 5 sore lewat dan kayanya akan turun hujan, makanan juga sudah habis kita beres-beres lagi. Piring, gelas, tenda dan lainnya siap angkut. Uh..akhirnya selesai tabling hari ini. tapi belum sampai di sini karena teman-teman melanjutkan untuk mengadakan evaluasi tabling di kafe Inninawa. Sebagian memulangkan peralatan dahulu di idefix, dan sebagian lagi menunggu di Inninawa.
Magrib, para relawan telah berkumpul di bale kafe Inninawa. Menyenangkan minum kopi hangat di malam yang agak dingin karena hujan. Satu-persatu mengutarakan kesannya mengenai tabling, banyak pendapat dan akhirnya merujuk pada beberapa point yang menjadi evalusi yaitu :
J baik untuk FNB selanjutnya, para relawan bisa mengumpulkan bahan makanan langsung dan meminimalisasi untuk berbelanja. Malam itu, Aan membawa berita gembira kalau dia telah mempunyai link dengan beberapa penjual sayur di pasar Terong dan mereka siap untuk membantu bahan makanan. Wow, keren-keren.
J usulan lagi, baiknya kata FNB diganti dengan nama lain yang lebih familiar dengan kondisi dan pemahaman masyarakat., begitu juga dengan spanduk “Makanan Gratis Untuk Semua” sebaiknya diganti juga karena penggunaan kalimatnya yang kesannya kurang baik.
J ada sebuah media sederhana, berupa leflet yang memberi gambaran umum mengenai FNB yang akan dibagi kepada siapapun baik mahasiswa atau masyarakat umum sebagai media kampanye ataupun membuka peluang donasi sekaligus memberi informasi bahwa FNB tersebar luas hampir di beberapa daerah dan negara luar . Nah, yang mendapat tugas ini adalah Rido. Ok Rido, lets Campaign!
J perlu ada moment khusus, kampanya FNB lewat film dokumenter
J selanjutnya adalah penentuan jadwal FNB sebelumnya yaitu Tanggal 12 April 2008 masih di tempat yang sama. Tapi ada pertemuan awal seminggu sebelumnya atas dasar untuk mempermudah koordinasi yang sempat kacau balau. Sip..sip..
J dan terakhir adalah membuat reportase untuk tabling kali ini untuk diposting di blog. Nah, ini dia reportnya hehehe :p :p , ancuuur kan tulisannya :P?

Yup..yup sekiranya sampai di sini. Oh iya, ada kabar baru lagi kalo ada teman dari Black Elvis (Sandy dan temannya tadi ) mau buat sel baru di daerah Hartaco, horee..horee semoga makin ramai tabling di Makassar.
Sudah malam...sudah capek...semua kembali ke peraduannya lagi...

Ok....SEE U THEN...........................
Elh..MeJ
 
Powered by Blogger